Kesultanan Banten
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kesultanan Banten Kasultanan Banten |
|||||
|
|||||
![]() Bendera |
|||||
Wilayah Banten pada masa Maulana Hasanuddin, yang menguasai Selat Sunda pada kedua sisinya
|
|||||
Ibu kota | Surosowan, Kota Intan | ||||
Bahasa | Sunda, Jawa, Melayu, Arab,[1] | ||||
Agama | Islam | ||||
Bentuk Pemerintahan | Kesultanan | ||||
Sultan | |||||
- | 1552–1570 ¹ | Maulana Hasanuddin | |||
- | 1651–1683 | Ageng Tirtayasa | |||
Sejarah | |||||
- | Serangan atas Kerajaan Sunda | 1527 | |||
- | Aneksasi oleh Hindia Belanda | 1813 | |||
¹ (1527-1552 sebagai bawahan Demak) |
Padrão Sunda Kelapa di Museum Nasional, Jakarta
Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati[2] berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.
Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintanannya, para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar