Biografi Syeh Nawawi
Syekh
Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad ibn Umar
al-Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad
Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten
pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Nawawi
menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia dimakamkan di
Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai
tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di
desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan
Syawwal selalu diadakan acara khaul untuk memperingati jejak
peninggalan Syekh Nawawi Banten. Ayahnya bernama Kiai Umar, dari
silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari
Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu
keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama
Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad
melalui Imam Ja’far As-Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal
Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.
Ayahnya,
‘Umar Ibnu’ Arabi adalah penghulu kecamatan di Tanara. Beliau mengajar
sendiri putera-puteranya (Nawai, Tamim dan ahmad) pengetahuan dasar
dalam bahasa Arab, fiqh dan tafsir. Ketiga putera tersebut kemudian
melanjutkan pelajarannya kepada Kyai Sahal (masih di daerah Banten).
Setelah itu mereka melanjutkan lagi pelajaran di Purwakarta kepada Kyai
Yusuf, seorang Kyai terkenal yang menarik santri-santri dari
daerah-daerah jauh di seluruh jawa, terutama dari daerah Jawa Barat
waktu itu. Kemudian mereka melakukan ibadah haji sewaktu masih muda.
Syekh Nawawi waktu itu berumur 15 tahun mendapat kesempatan untuk pergi
ke Mekkah menunaikan ibadah haji dan tinggal di Mekkah selama 3 tahun.
Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra
Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun
belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah
ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayahnya
mengajar para santri. syeck Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan
kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat Kedatangannya
membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri
yang datang dari berbagai pelosok. Namun hati syeck Nawawi telah menyatu
dengan Kota Mekkah hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan
berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap
di sana. Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang
terkenal, pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syekh Khatib Sambas
(Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul
Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu
belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di
Mekkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali.
Kemudian ia melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan
Syam (Syiria). Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan
meninggalkan kampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di
Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 syekh Nawawi mulai
mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup
memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat
sebagai Syekh di sana. Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia
harus banyak menulis kitab.Terkadang Beliau menulis Kitab hanya
diterangi oleh lampu tempel (lampu yang berbahan bakar minyak tanah).
Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang
meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu
datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk
dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam
setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya.
Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar
(Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap
sulit dipahami. Alasan menulis Syarah selain karena permintaan orang
lain, syeck Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya
pendahulunya yang sering mengalami perubahan dan pengurangan. Rupanya
kehidupan intelektual di mekkah sangat menarik hati sang syakh, sebab
tidak lama setelah ia tiba di Banten ia kemudian belajar lagi ke Mekkah
dan tinggal di sana seterusnya sampai meninggalnya.
Dalam
menyusun karyanya syekh Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama
besar lainnya, sebelum di cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh
mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya
mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan
bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke
daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas dengan
menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini nama syekh
Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke
14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A ‘yan ‘Ulama’
al-Qarn aI-Ra M’ ‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq wa
al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz. Kesibukannya dalam
menulis membuat Nawawi kesulitan dalam mengorganisir waktu sehingga
tidak jarang untuk mengajar para pemula ia sering mendelegasikan
siswa-siswa seniornya untuk membantunya. Cara ini kelak ditiru sebagai
metode pembelajaran di beberapa pesantren di pulau Jawa. Di sana santri
pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu
sebelum belajar langsung pada kiai agar proses pembelajaran dengan kiai
tidak mengalami kesulitan.
Nama
Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia.
Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik
madzhab Syafi’i, Imam Nawawi. Melalui karya-karyanya yang tersebar di
pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak
dikaji, nama Kiai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai
umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan. Di setiap
majlis ta’lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai
ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya
sangat berjasa dalam mengarahkan mainstrim keilmuan yang dikembangkan di
lembaga-lembaga pesantren yang berada di bawah naungan NU. Di kalangan
komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama
penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati. Syekh Nawawi telah
banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis
tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak
membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang
sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama
(NU). Apabila KH. Hasyim Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak
bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah
guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini,
seringkali KH. Hasyim Asyari bernostalgia bercerita tentang kehidupan
Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena
besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi. Mengungkap jaringan
intelektual para ulama Indonesia sebelum organisasi NU berdiri merupakan
kajian yang terlupakan dari perhatian para pemerhati NU. Terlebih lagi
bila ditarik sampai keterkaitannya dengan keberhasilan ulama-ulama
tradisional dalam karir keilmuannya di Mekkah dan Madinah. Salah satu
faktor minimnya kajian di seputar ini adalah diakibatkan dari persepsi
pemahaman sebagian masyarakat yang sederhana terhadap NU. NU dipahami
sebagai organisasi keagamaan yang seolah-olah hanya bergerak dalam
sosial politik dengan sejumlah langkah-langkah perjalanan politik
praktisnya, dan bukan sebagai organisasi intelektual keagamaan yang
bergerak dalam keilmuan dan mencetak para ulama. Sehingga orang merasa
heran dan terkagum-kagum ketika menyaksikan belakangan ini banyak anak
muda NU mengusung gerakan pemikiran yang sangat maju, berani dan
progressif.
Mereka
tidak menyadari kalau di tubuh NU juga memiliki akar tradisi
intelektual keilmuan yang mapan dan tipikal. Dengan begitu NU berdiri
untuk menyelamatkan tradisi keilmuan Islam yang hampir tercerabut dari
akar keilmuan ulama salaf. Figur ulama seperti Syekh Nawawi Banten
merupakan sosok ulama berpengaruh yang tipikal dari model pemikiran
demikian. Ia memegang teguh mempertahankan traidisi keilmuan klasik,
suatu tradisi keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan
secara evolutif dalam pembentukkan keilmuan agama Islam. Besarnya
pengaruh pola pemahaman dan pemikiran Syekh Nawawi Banten terhadap para
tokoh ulama di Indonesia, syeck Nawawi dapat dikatakan sebagai poros
dari. akar tradisi keilmuan pesantren dan NU. Untuk itu menarik jika di
sini diuraikan sosok sang kiai ini dengan sejumlah pemikiran mendasar
yang kelak akan banyak menjadi karakteristik pola pemikiran dan
perjuangan para muridnya di pesantren-pesantren.
Antara
1860 – 1870 ia mengajar di Masjid Haram dalam waktunya yang senggang,
sebab antara tahun-tahun tersebut Nawawi sudah aktif menulis buku-buku.
Tetapi setelah tahun 1870 ia memusatkan aktivitasnya untuk menulis.
Nawawi seorang yang produktif dan berbakat; tulisan-tulisannya meliputi
karya pendek yang berisi tentang pedoman-pedoman ibadah sampai kepada
tafsir Al-Qur’an yang cukup tebal yang terdiri dari 2 jilid, yang
diterbitkan di mesir tahun 1887. sarkis menyebutkan 38 karya Syekh
Nawawi yang penting. beberapa contoh karya Nawawi yang penting yang
terbit di Mesir antara lain:
1. Syarah Al-Jurummiyah, isinya tatabahasa Arab, terbit tahun 1881.
2. Lubab Al-Bayan (1884).
3. Dhariyat Al-Yaqin; isinya tentang doktrin-doktrin Islam, dan merupakan komentar atas karya Syekh Sanusi, terbit 1886.
4. Fathul Mujib. Buku ini merupakan komentar atas karya Adurr Al-Farid, karya Syekh Nawawi (guru Nawawi) yang terbit tahun
1881, dan 3 buah buku lagi yang berisi, selain doktrin-doktrin pokok,
uraian tentang lima bagian-bagian penting daripada hukum Islam dan lima
rukun Islam.
5. Dua
jilid komentar tentang syair mauled karya Al Barzanji. Karya ini sangat
penting sebab selalu dibacakan dalam perayaan-perayaan mauled.
6. Syarah Isro’ Miraj juga karangan Al Barzanji
7. Syarah tentang Syair Asmaul Husna
8. Syarah Manasik Haji karangan Syarbani yang tertbit tahun 1880.
9. Syarah Suluk Al-Jiddah (1983)
10. Syarah
Sullam Al-Manajah (1884) yang membahas tentang berbagai persoalan
ibadah. (Buku asli no. 9 dan 10 dikarang oleh Syekh Hadrami).
11. Tafsir murah Labib.
Di banten sendiri syeh nawawi dikenal dengan pengarang buku amil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar