MAKALAH
FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN
“FENOMENOLOGI”

Dosen:
DR.
AdangHeriawan M.Pd
Di
susun oleh:
Encun sunayah (2227140752)
UmahMarhumah (2227140827)
Musfirah (2227142384 )
KELAS
III A (PGSD)
UNIVERSITAS
SULTAN AGENG TIRTAYASA (UNTIRTA)
KATA PENGNATAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah
SWT yang telah memberikan kekuatan kepada kami sehingga dapat
menyusun makalah yang berjudul FENOMENOLOGI.
Semoga makalah ini memberikan manfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya. Secara khusus kami ucapkan terimakasih kepada bapak DR.AdangHeriawan M.pd selaku dosen mata kuliah filsafatIlmuPendidikan.
Kami menyadari dengan sepenuh hati
bahwasannya makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga dapat memperbaiki
kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam makalah ini serta dapat membantu
dalam penyusunan tugas-tugas atau makalah-makalah berikutnya.
Kami ucapkan terimakasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini, saran dan kritik
yang membangun akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas makalah yang
kami buat ini.
Serang,17november 2015
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Ilmu
filsafat adalah ilmu yang menjadi induk segala pengetahuan. Filsafat merupakan
sebuah sistem yang komprehensif dari ide-ide mengenai keadaan yang murni dan
realitas yang terjadi dalam hidup. Filsafat juga dapat dijadikan paduan dalam
kehidupan karena hal-hal yang berada di dalam lingkupnya selalu menyangkut
sesuatu yang mendasar dan membutuhkan penghayatan. Filsafat digunakan untuk
menentukan jalan yang akan diambil seseorang dalam kehidupannya. Filsafat juga
memberi petunjuk mengenai tata cara pergaulan antara sesama.
Tak
lepas dari semua ini, pada dasarnya filsafat adalah bersumber dari pertumbuhannya
pola pikir manusia. Semua yang ada, atau yang telah ada bisa diperhatikan
dan dipikirkan secara rasional. Karena berpikir adalah aktifitas individu dan
manusia mempunyai kemerdekaan untuk berpikir. Berpikir secara mendalam untuk
menghasilkan suatu ilmu pengetahuan yang bisa dipertanggung jawabkan
keabsahannya.
Dengan
demikian dapat dikata bahwa berfilsafat adalah mendalami sesuatu secara
mendalam berdasarkan penalaran yang dimiliki seseorang. Dan akhirnya bisa
melahirkan aliran fenomenologi yang akan dipaparkan dalam makalah ini.
Perlu
kita ketahui sekilas bahwa Ilmu fenomenologi dalam filsafat biasa dihubungkan
dengan ilmu hermeneutik. Yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena
ini. Keduanya membicarakan manusia sebagai realita eksistensi ditentukan oleh
kondis-kondisi fisik dan budaya yang mempengaruhi. Fenomenologi dan
herneneutika saling bersentuhan, namun juga mempunyai perbedaan, kekuatan, dan
kelemahan masing-masing.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian fenomenologi
Fenomenologi
(Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos.
Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos
berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara
umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak.
Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas,
fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak.
Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada
kesadaran kita.
Sebagai
sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859
– 1938), untuk mematok suatu dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang
disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam
mengembangkan fenomenologi. Namun istilah fenomenologi itu sendiri sudah ada
sebelum Husserl. Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai
oleh J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran
mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab
subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).
Edmund
Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta
introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan
pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estetis, konseptual, serta
indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya difokuskan pada penyelidikan
tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan
batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran,
dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.
Fenomenologi
merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan
langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang
murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen
sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran.
Kita harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk
kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita
harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari.
Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu
dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan demikian fenomenologi dapat
dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den Sachen Selbt),
dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek kesadaran langsung dalam
bentuk yang murni.
Husserl
sangat tertarik dengan penemuan makna dan hakikat dari pengalaman. Dia
berpendapat bahwa terdapat perbedaan antara fakta dan esensi dalam fakta, atau
dengan kata lain perbedaan antara yang real dan yang tidak. Berikut adalah
komponen konseptual dalam fenomenologi transcendental Husserl:
a.
Kesengajaan (Intentionality)
Kesengajaan
(intentionality) adalah orientasi pikiran terhadap suatu objek (sesuatu)
yang menurut Husserl, objek atau sesuatu tersebut bisa nyata atau tidak nyata.
Objek nyata seperti sebongkah kayu yang dibentuk dengan tujuan tertentu dan
kita namakan dengan kursi. Objek yang tidak nyata misalnya konsep tentang
tanggung jawab, kesabaran, dan konsep lain yang abstrak atau tidak real.
Husserl menyatakan bahwa kesengajaan sangat terkait dengan kesadaran atau
pengalaman seseorang dimana kesengajaan atau pengalaman tersebut dipengaruhi
oleh faktor kesenangan (minat), penilaian awal, dan harapan terhadap objek.
Misalnya minat terhadap bola akam menentukan kesengajaan untuk menonton
pertandingan sepak bola.
b.
Noema dan
Noesis
Noema
atau noesis merupakan turunan dari kesengajaan atau intentionality.
Intentionality adalah maksud memahami sesuatu, dimana setiap pengalaman
individu memiliki sisi obyektif dan subyektif. Jika akan memahami, maka kedua
sisi itu harus dikemukakan. Sisi obyektif fenomena (noema) artinya sesuatu yang
bisa dilihat, didengar, dirasakan, dipikirkan, atau sekalipun sesuatu yang
masih akan dipikirkan (ide). Sedangkan sisi subyektif (noesis) adalah tindakan
yang dimaksud (intended act) seperti merasa, mendengar, memikirkan, dan menilai
ide.
c.
Intuisi
Intuisi
yang masuk dalam unit analisis Husserl ini dipengaruhi oleh intuisi menurut
Descrates yakni kemampuan membedakan “yang murni” dan yang diperhatikan dari
the light of reason alone (semata-mata alasannya). Intuisilah yang membimbing
manusia mendapatkan pengetahuan. Bagi Husserl, intuisilah yang menghubungkan
noema dan noesis. Inilah sebabnya fenomenologi Husserl dinamakan fenomenologi
transendental, karena terjadi dalam diri individu secara mental(transenden).
d. Intersubjektivitas
Makna
intersubjektif ini dijabarkan oleh Schutz. Bahwa makna intersubjektif ini
berawal dari konsep ‘sosial’ dan konsep ‘tindakan’. Konsep sosial didefinisikan
sebagai hubungan antara dua atau lebih orang dan konsep tindakan didefinisikan
sebagai perilaku yang membentuk makna subjektif. Akan tetapi, makna subjektif
tersebut bukan berada di dunia privat individu melainkan dimaknai secara sama
dan bersama dengan individu lain. Oleh karenanya, sebuah makna subjektif
dikatakan intersubjektif karena memiliki aspek kesamaan dan kebersamaan (common
and shared).
B. Kelebihan
dan kekurangan filsafat fenomenologi :
Kelebihan
filsafat fenomenoligi diantaranya dapat diuraikan sebagai berikut :
1.
fenomenologi sebagai suatu metode keilmuan,
dapat mendiskripsikan penomena dengan apa adanya dengan tidak memanipulasi
data, aneka macam teori dan pandangan.
2.
fenomenologi mengungkapkan ilmu pengetahuan
atau kebenaran dengan benar-benar yang objektif.
3.
fenomenologi memandang objek kajian sebagai
bulatan yang utuh tidak terpisah dari objek lainnya.
Dengan
demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan
pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai
objek yang diamati, hal ini lah yang menjadi kelebihan filsafat ini sehingga
banyak dipakai oleh ilmuan-ilmuan pada saat ini terutama ilmuan sosial, dalam
berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama.
Dari
berbagai kelebihan tersebut, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari
berbagai kelemahan, seperti :
1.
Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan
pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan
sebelumnya, baik dari adat, agama ataupun ilmu pengetahuan, merupakan suatu
yang absurd.
2.
Pengetahuan yang didapat tidak bebas nilai (value-free),
tapi bermuatan nilai (value-bound)
C.
Fenomenologi sebagai ilmu
Fenomenologi
berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya.
Fenomena disini dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu
tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun
berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting
ialah pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat
mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa prasangka sama sekali.
Tugas
utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan
realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas
dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut
ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu
membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai
pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang
menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang
dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.
Husserl
mengajukan metode epoche untuk mencapai esensi fenomenologi. Kata epoche
berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau
“mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda
kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu
fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu.
Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri
oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting:
Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam
kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran.
Selanjutnya,
menurut Husserl epoche mempunyai empat macam, yaitu:
1.
Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori
dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari
adapt, agama maupun ilmu pengetahuan.
2.
Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua
sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.
3.
Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi
gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
4.
Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan
fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.
D. Fenomenologi sebagai
metode
Didalam
proses berbagai pemikiran fenomenologi terdapat beberapa tahap berpikir yaitu
Intensionalitas (keterarahan isi kesadaran) dan Reduksi. Sedangkan dalam
fenomenologi pengalaman estetik terdapat beberapa pemahaman yang penting menuju
refleksi, yaitu: imajenasi, persepsi, perasaan dan kebenaran. Metode
fenomenologi ini menurut Laksmi C. Siregar dengan tehnik reduksi serta analisis
esensial. Bila digunakan dengan benar merupakan yang paling radikal diantara
semua metode. Analisis berdasarkan Intensionalitas dari proses kesadaran
bila dibatasi pada kesadaran berikut korelasinya, dapat merupakan awal
kemungkinan yang paling kritis untuk filsafat.
Fenomenologi
sebagai metode dikembangkan oleh Edmund Husserl berdasarkan ide-ide gurunnya
Franz Brentano (1838-1917). Husserl memakai metode fenomenologi untuk
memperoleh pengetahuan yang sejati. Caranya tidak dengan induksi melainkan
dengan intuisi (Anschauung) yaitu mengarahkan perhatian pada fenomen yang ada
dalam kesadaran kita.
Untuk
mengetahui hakekat manusia misalnya, kita tidak perlu membandingkannya dengan
hewan-hewan lainnya, melainkan kita harus memperhatikan manusia sebagaimana
nampak dalam kesadaran. Dengan demikian harus disingkirkan berbagai purbasangka
dengan cara memberi tanda kurung (Einklammerung) terhadap pendapat yang
mendahului, segala unsur tradisi, segala yang diajarkan orang lain. Selanjutnya
diadakan ideation atau membuat Idea yang disebut juga Reduktion, tetapi tidak
lagi fenomenologis melainkan eidetisch yaitu penyaringan untuk
mendapatkan hakekat sesuatu (eidos). Kemudian dilakukan reduksi transendental
yaitu penerapan metode fenomenologi pada subyeknya sendiri, perbuatannya, dan
kepada kesadaran murni.
Husserl
mengadopsi sistematika Descartes dalam cara kerja fenomenologinya; dimana
Descartes menggambarkan dengan jelas sitematika pendekatan. Descartes yang
diakui oleh Husserl sebagai mentornya, memiliki metode yang terdiri dari empat
ajaran yang metodologik, yaitu:
- Pertama, menetapkan bahwa argumentasi harus didasarkan hanya oleh pernyataan- pernyataan yang dapat di demonstrasikan secara benar. Orang harus mendefinisikan apa itu kebenaran dan kemudian mendefinisikan pernyataan-pernyataan kebenaran itu.
- Kedua, menyatakan bahwa orang perlu membagi masalah itu kedalam bagian-bagian yang sekecil mungkin agar dapat memfasilitasikan suatu solusi/pemecahan.
- Ketiga, mengindikasikan bahwa orang harus berjalan secara sistimatis dari komponen masalah yang paling sederhana ke masalah yang jauh lebih komplek, suatu prosedur yang menghasilkan hubungan antara komponen-komponen yang tidak segera dapat dilihat, tetapi akan muncul dalam pelaksanaannya.
- Keempat, menstimulasikan bahwa, dalam rangka suatu pekerjaan, pengkajian secara komprehensif harus dilakukan atas suatu dasar yang teratur, untuk menjamin agar tidak ada yang terlupakan.
Metode
Descartes ini merupakan wacana yang logis dan dapat menjadi alur berpikir yang
sistematik. Berpikir yang sistematik dalam metode fenomenologi melalui berbagai
tahap penting utamanya adalah Intensionalitas dan Reduksi. Dalam perkembangan
selanjutnya muncul fenomenologi pengalaman estetik yang memakai tahapan
Imajinasi dan Intuisi, Persepsi Estetik dan Perasaan, Kebenaran Objek Estetik
menuju tahapan penting dalam pemahaman reflektif.
Katagori
yang paling penting pada fenomenologi adalah intensionalitas (kesadaran). Ia
dihasilkan oleh dua cara intelektual yang secara tetap aktif dalam metode
fenomenologi, yaitu: pembicaraan (penulisan) yang rasional (dapat juga disebut
sebagai praktek dari refleksi) dan pemahaman yang berdasarkan intuisi. Beberapa
aspek penting dalam intensionalitas menurut Husserl, yaitu: melalui
intensionalitas terjadi objektivikasi, melalui intensionalitas terjadi
identifikasi, intensionalitas juga saling menghubungkan (korelasi) dan
intensionalitas mengadakan pula konstitusi (menciptakan).
Aspek-aspek
tesebut bila dihubungkan dengan gagasan Lincourt tentang fenomena arsitektur,
maka akan memunculkan urutan intensionalitas runtut yang merupakan suatu tahap
metode fenomenologi dalam bidang arsitektur, sebagai berikut: manusia, menjadi
awal munculnya intensionalitas yaitu, intensionalitas objektivikasi;
Berkegiatan mengakibatkan munculnya intensionalitas identifikasi, dari berbagai
aspek kegiatan ini, kemudian muncul suatu lindungan/naungan budaya, sehingga menyebabkan
intensionalitas korelasi yang mengungkapkan hubungan dari seluruh aspek,
sehingga terjadi integrasi sebagai unsur-unsur dalam kesatuan identik. Sesudah
terjadinya ketiga tahap intensional itu, muncullah intensionalitas konstitusi
(menciptakan), yaitu kesadaran akan adanya kemampuan manusia menciptakan suatu
tempat bernaung, yaitu perwujudannya disesuaikan dengan alam lingkungan bagi
kehidupan manusia dan selalu terjadi penyesuaian dengan perkembangan zaman.
Inilah contoh implementasi dari tahap intensional Husserl yang terekam dalam
konsep pemikiran Lincourt mengenai fenomena arsitektur
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. R.F. BEERLING
(1961) .filsafatDewasaIni.penerbit:DinasPenerbitanBalaiPustaka.jakarta
http://amrinarose13.blogspot.co.id/2013/03/fenomenologi.html?m=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar